Kabut

Pada satu pagi, beberapa waktu lalu, saat saya menjalani “ritual pagi” alias jalan kaki pagi, udara terasa demikian dingin dan berkabut.

Terlintas dipikiran, bagaimana sebenarnya proses terbentuknya kabut itu? Ah, tapi hanya selintas pertanyaan saja, belum juga mencari jawabannya sampai saat ini.

Yang pasti di pagi itu, saya mengenakan kaos lengan panjang, yang cukup untuk menahan udara dingin agar tak terlalu merayap memasuki tubuh.

Kaki terus melangkah, waktu belum juga sampai ke angka 06.30, baru seperempat perjalanan, untuk mencapai target harus berupaya berjalan kaki 1 jam setiap pagi, demi tubuh yang sudah mulai renta agar tetap sehat.


 

Selama berjalan menembus kabut dengan pandangan ke depan yang terbatas, teringat lagu lawas berjudul “Menjaring Matahari“, albumnya dirilis tahun 1987, yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade.


 

Sambil terus berjalan, saya bersenandung. Beberapa bait lirik lagunya masih saya ingat, begini:

Kabut sengajakah engkau mewakili pikiranku,
Pekat hitam peralat menyelimuti matahari,
Aku dan semua yang ada di sekelilingku,
Merangkak menggapai dalam kelam…

Sungguh lirik lagu tersebut puitis dan bermakna dalam. Bercerita tentang pergulatan hidup manusia yang di atas segala-galanya ternyata yang dapat menolong dan membantu hanyalah Tuhan.

Mari sejenak simak bagaimana Ebiet G, Ade menyanyikan lagu Menjaring Matahari penuh penghayatan dengan olah vokal dan gaya bernyanyinya yang khas…

Kaki terus mengayun langkah. Waktu terus bergerak. Perlahan kabut menghilang digantikan cerah sinar matahari pagi.

Sukabumi, 12 Maret 2023

Komentar